Pertemuanku dengan Bunda Mila

 Bismillahirrahmanirrahim 


Pagi ini setelah mengantarkan anak saya ke sekolahnya, saya bersiap menuju kajian pekanan Umma Ikha Alaydrus diselenggarakan setiap kamis pagi di Klinik Humaira. Namun, di parkiran depan warung Yu Am, saya tiba-tiba ingin cek HP dulu. Barangkali ada info, namun Allah menunjukan sesuatu yang sangat mengejutkan sekaligus membahagiakan melalui story WA Bunda Mila. 

Bunda Mila share Flyer Kajian “Membangun Keharmonisan dalam Pernikahan” Pembicara “Siti Jamilah, S.Si, M.Si (Happiness Marriage Coach) tempatnya di Mushola Al Hidayah Perumahan Griya Ayu Indramayu. Allahuakbar, serasa mimpi. Iyakah di Indramayu??????Benarkah ini Bunda Mila, seseorang yang selalu saya simak kajiannya melalui Youtube dan Live IG.

Saya kirim pesan di wa untuk memastikan bahwa info ini benar adanya. “Assalamualaikum Bunda Mila, benarkah pagi ini ada kajian di Indramayu?”

Tak ada balasan, ah tentu saja Bunda Mila sedang sibuk persiapan acara atau mungkin acaranya sudah dimulai. Tanpa berpikir panjang, saya bawa kuda besi ini melaju lebih cepat dari biasanya, saya parkir di bawah pohon mangga di halaman Masjid itu. Allah benarkah ini bukan mimpi. Hati ini terus bertanya seakan tak percaya, Bunda Mila dari Jogjakarta jauh-jauh mengisi kajian di Indramayu.

Tentu saja, jamaah khusus muslimah di Masjid sudah penuh. Saya berusaha mencari tempat duduk paling dekat walau itu tidak mungkin. Saya duduk agak di belakang namun lurus banget dengan tempat duduknya Bunda Mila. Bunda Mila mengenakan batik kuning dengan jilbab berwarna kuning polos. Perpaduan yang sangat apik. Duduk lesehan dengan meja kecil di depannya yang dialasi kain bercorak putih. Rupanya, kajian sudah dimulai sejak 1 jam lalu. Akhirnya Bunda Mila menoleh ke arah saya, saya pun tersenyum, senyum rindu, senyum kebahagiaan karena bisa melihat wajahnya sedekat ini. 

Bunda Mila pun membalas dengan senyuman yang begitu manis. Ah wajahnya memang meneduhkan, dengan senyum seindah itu tentu saja membuat saya selalu ingin bertemu. Allah terima kasih untuk pertemuan ini. Di senyum itu kami seolah berbagi rasa. Rasa sayang karena Allah. Rasa rindu yang selama ini hanya bisa disampaikan dalam doa.

Bunda Mila pun melanjutkan materinya namun tiba-tiba ada yang mengangkat tangan hendak bertanya. 

“ustadzah izin bertanya, bagaimana bisa tetap harmonis jika pasangan belum mau salat dan juga puasa ramadhan?”tanya seorang ibu berkacamata dan mengenakan bergo warna pink yang duduk di depan kiri saya. 


Bunda Mila menjawabnya dengan membuka dialog. 

“baik ibu, kalau boleh tau, bagaimana pola asuh suami saat kecilnya? Apakah orangtuanya juga salat?”

“Orangtuanya bercerai sejak suami masih kecil, sekitar usia TK. Ibunya mengalami KDRT. Karena itulah sampai sekarang kami tinggal bersama ibunya. Ibunya tidak salat juga. Sejak bayi, suami diasuh oleh neneknya, karena Ibunya harus bekerja banting tulang agar bisa menghidupi keluarga. “


Bunda Mila membetulkan posisi duduknya dan diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan ibu itu.

“Baik, berarti sudah ketemu ya benang merahnya, suami sejak kecil tidak ada sosok ayah dan ibu. Kosong keduanya. Ketika anak laki-laki dekat dengan ibunya, maka dia akan ada rasa empathy kepada istrinya. Namun ini tidak dekat dengan ibunya sejak kecil bahkan sejak bayi. Ibu punya anak?”


“Punya ustadzah, anak saya perempuan masih 5th”

Saya makin trenyuh mendengarnya. Saya membayangkan betapa perihnya perjalanan sang ibu itu, menjalani kehidupan bersama suami yang tidak ada rasa empati kepadanya. Bagaimana jika dia gak sehat. Seperti apa sikap suaminya?

Bunda Mila melanjutkan.

“Dari sisi ayah, karena tidak ada kehadiran sang ayah, dia jadi gak bisa mengungkapkan perasaannya gimana kepada orang lain terutama istri.”

“Bayangkan dia tumbuh besar, lalu menjadi suami, jadi ayah, tanpa ada gambaran dari orangtuanya. Kosong. Dari sisi spiritualitas juga tidak ada stimulasi dari kedua orang tuanya. Lingkungan suami tumbuh juga sangat berpengaruh.

Saya mulai berkaca-kaca mendengarkan pemaparan Bunda Mila. 

“Selama ini bagaimana sikap ibu ke suami terkait ibadahnya?”

“Saya sudah tidak mau membahasnya dengan suami, saya biarkan saja, karena kalau saya bicara soal solat, kita jadi berantem” jawab sang ibu sambil membetulkan kacamatanya.

“Ibu sudah benar untuk tidak intervensi sisi spiritual atau keimanan suami. Dia sudah dewasa. Sebagai istri kita tidak punya tanggungjawab akan ibadah suami. Tahapan dakwah itu dengan perbuatan, lisan, qolbi. Hati kita setidaknya tidak setuju dengan dia. Kisah istri Firaun, ambil ibrohnya. Istri menjalankan tugas sebagai istri itu wajib. Tapi tidak ada kewajiban untuk membuat suami ibadah. Tanggungjawab istri itu ke anak. Anak itu bisa diberi teladan. “

“Ibu…bayangkan jika posisi suami di istri dan istri di suami. Gimana anak bu, sedangkan anak ibu perempuan masih kecil. “


“maksud ustadzah apa?”

“gimana anak ibu, jika ibu yang tidak taat sementara ayah taat. Sementara anak perempuan itu dekatnya dengan ibu. Dan usia 5th itu masih bergantung ke ibunya.”


Seketika pecahlah tangis sang ibu. Dia menangis tersedu. Dan Bunda Mila menghampirinya dan memeluknya sambil menangis juga. Saya duduk terdiam membeku. Jamaah lain pun memeluk ibu itu sambil meneteskan air mata. Ah betapa gak ringannya beban yang dia pikul ya Allah. 


“Ustadzah….saya gak mau ditukar posisi saya dengan suami, gak mauuuu ustadzah, Alhamdulillah atas iman islam ini” tiba-tiba ibu itu tersungkur dalam sujud penuh syukur.

Saya membawakan minum untuk ibu itu. Setelah minum, alhamdulillah dia lebih tenang. Saya terus bertanya, hati saya bergetar. Allah…pelajaran apa yang hendak engkau sampaikan kepadaku.


Bunda Mila dan ibu-ibu lainnya kembali ke tempat duduknya. Bunda Mila pun melanjutkan.


“Alhamdulillah saya senang jika ibu bisa menerima suami. Menerima kondisi ini. Karena kabar gembiranya, anak ibu ada di zona kontrol ibu. Bisa diteladani , di doakan, diusahakan. Fokusnya bukan ke suami tapi ke anak. Doakan suami dengan doa Nabi Ibrahim. Robbizalni muqiimasholati wamindzdurriyati robbana wataqobbaldu’a, baca alfatihah khusus untuk suami setelah salat mudah-mudahan dengan ini membukakan hidayah untuk suami. 


Beri contoh bahwa orang yang beribadah itu akhlakny baik, termasuk ke dia. Tidak lagi menuntut dia salat. Tapi terima. Ciptakan momen. Coba habis salat, ibu dekati suami. Tidak ngambil jarak karena dia ga solat. Penuhi pelayanan suami dengan baik. Niteni kesukaan suami. Kalau ada momen tanya aja “ayah besok ingin anak kita gimana?”


0—7 tahun harus dipenuhi kebutuhannya.kalau kantung cintanya tidak terpenuhi, maka saat dewasa dia akan tidak empati. Egonya tinggi. Akarnya ada di pola asuh. 

Kita menerima apa yang terjadi di masa lalu. Ada pesan Allah. Allah ingin kamu memutus rantai ini. Memaknai apa yang sudah kita jalani. Geser pemaknaan jadi lebih positif. Ibu yang punya kesadaran lebih awal, maka semoga suami berubah. Heal yourself. Gak ada orang lain yang bisa menyembuhkan diri kita selain kita sendiri. Hati-hati sikap ke anak. Kita akan menyiapkan dia jadi perempuan yang siap jadi ibu. Masa lalu yang harusnya didapat oleh suami, tapi ga dapat, di maknai itu agar anak ibu tidak merasakan hal yang sama. 

Kita harus memutuskan pola itu.

Itu saja yang bisa saya sampaikan ya bu. Semua yang baik itu dari Allah. Saya mohon maaf bila ada yang kurang tepat dari saya. Saya kira cukup ya untuk kajian ini.”


“Terima kasih banyak ustazdah atas jawabannya, sekarang saya lebih tenang”

“alhamdulillah”


Namun tiba-tiba ada yang bertanya lagi.

“Ustadzah…bagaimana biar bisa komunikasi dengan suami yang pendiam?”


Ya allah padahal sudah mau ditutup, saya melihat jam di HP, jam pulang sekolah anak saya sudah lewat 30 menit.  Dengan berat hati saya meninggalkan Masjid duluan, saya naik motor ke sekolah anak saya, sepanjang perjalanan air mata saya tumpah. Ternyata masing-masing pernikahan itu di uji, ada yang diuji dengan pasangannya, ada yang diuji dengan keuangan, dengan orang tua dll. Selama ini saya suka merasa paling ga ringan ujiannya. Ya Allah kuatkan hati ibu itu. 

Dan sesampainya disekolah, anak saya masih dikelas sedang mewarnai seorang diri. Maafkan mama ya nak. Saya peluk dia dan mengajaknya beli Ice Cream sebelum pulang ke rumah. 


“Assalamualaikum Bunda Mila, Mohon maaf tadi saya pulang duluan karena harus jemput anak di sekolah, Bunda Mila apa masih di Masjid Al Hidayah?” Pesan saya ke Bunda Mila berharap bisa bertemu dulu sebelum beliau kembali ke Jogjakarta. 



Selesai


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Materi di Mushola Nur Sa'adah

TIPS MENGATASI SAKIT SAAT MENSTRUASI DENGAN ENEMA KOPI

Jodoh Pasti Bertemu