Day 29, Mainan Bagi Anak
Mainan Bagi Anak. Perlukah?
Oleh: Rika Subana
Hellow emak-emak kece.
Pernah liat gak, ketika kita lagi jalan di emol, ada anak yang histeris minta dibelikan mainan kepada orang tuanya?
Saya pernah. Beberapa kali malah. Ada yang anaknya guling-guling (gak sambil koprol sih) di lantai. Ada yang teriak-teriak atau malah jerit-jerit dengan volume suara yang memekakkan telinga. Emm agak horor ya?
Alhamdulillah si bungsu gak pernah seperti itu. Paling banter cuma rengek-rengek manja aja. Mencoba peruntungan, siapa tahu emaknya bisa luluh.
Dulu sempet sih, beberapa kali kecolongan. Gak punya rencana beliin dia mainan, eh tahu-tahu di rumah baru sadar, kok malah beliin sih. Iya, kadang anak kecil itu bisa banget bikin emaknya khilaf.
Nah sejak saat itu, setiap mau jalan-jalan, saya selalu bikin kesepakatan dulu. Misalnya, kalau saya mau beliin dia mainan, maka saya akan sampaikan ke dia, "Kalau ada mainan bagus dan uangnya cukup, ibu bakal beliin 1 mainan. Tapi kalau gak ada, kamu gak boleh marah."
Nah, kalau kita memang gak berencana untuk beliin dia mainan, ya kasih tahu juga. Misalnya, kita bilang sama dia, "Kita mau jalan-jalan tapi Ibu gak akan beliin mainan. Mau ikut gak?"
Kalau dia mau ikut, kasih tahu konsekuensinya kalau dia ngeyel di emol. Misalnya, kita bilang, "Kalau kamu rewel atau ngeyel di sana, Ibu gak akan ngelayanin kamu. Kamu mau nangis, teriak silakan aja. Tapi Ibu tetep gak akan beliin."
Pernah, ketika saya bilang begitu, si bungsu nanya, "Emang Ibu gak malu kalau aku nangis atau teriak di sana?"
Saya jawab, "Enggak! Yang harusnya malu itu kamu, bukan Ibu. Kan kamu yang nangis atau teriak. Bukan Ibu."
Alhamdulillah, sejauh ini cara ini cukup ampuh membuat dia patuh dengan kesepakatan.
Jadi, seberapa penting mainan ini untuk anak? Wow hare gene kita disuguhi bermacam mainan dari segala penjuru mata angin. Dari harga ribuan sampai jutaan rupiah, mainan ini terpampang nyata. Dengan mudah, kita bisa melihatnya melalui marketplace cem Tokped, Shopee dan lain-lain.
Menurut Oppa Kwak No-eui ((beliau seorang profesor di bidang pendidikan)), sebetulnya anak tidak perlu dibelikan mainan! What? Seriously?
Bukankah mainan itu baik bagi anak-anak? Bukankah mainan itu bisa menstimulasi berbagai kemampuan pada anak? Bukankah ... mainan itu endebre-endebre? ((Pasti emak-emak punya 1001 alasan untuk membelikan mainan kan?)). And the list continues.
Tadinya saya juga mikirnya gitu sih. Bahwa anak itu butuh mainan. Bahwa mainan itu banyak manfaatnya. Tapi mari kita telaah bagaimana pemikiran sang oppa profesor ini.
Menurutnya, semakin menarik suatu mainan, anak-anak akan semakin lengket dengan mainannya, bukan orang yang bermain dengannya. Sampai sini, kemampuan sosial si anak malah tidak terasah. Padahal kemampuan sosial merupakan salah satu life skill yang penting untuk masa depannya.
Kalau anak semakin lengket dengan mainan, lama kelamaan, dia akan menjadi kecanduan mainan. Di otaknya, yang ada hanyalah mainan ... mainan ... mainan Woooh syeremnya. Ternyata mainan ini bisa menjadi candu bagi anak.
Peluang kecanduan ini semakin besar, terutama bagi anak yang kedua orangtuanya bekerja. Anak pun akan semakin mudah merengek minta mainan. Tahu kenapa? Karena yang dia pahami, mainan adalah bentuk cinta dan rasa sayang orangtua terhadap dirinya. Dia merasa, semakin banyak mainan yang dibelikan orangtuanya, semakin sayang orangtua kepadanya. Begitu pun orangtuanya. Mereka merasa, dengan membelikan mainan bisa menutupi rasa bersalah karena tidak bisa mendampingi sang anak sepanjang waktu. Ini berlaku juga bagi orangtua yang selalu ada 24 jam bersama anak. Tapi tidak punya waktu untuk bermain bersamanya ((eh kok berasa sedikit kesindir yak)).
Jadi, bagaimana anak bisa bermain tanpa mainan? Nah, lagi-lagi menurut oppa-oppa pakar pendidikan, anak-anak bisa banget lho asyik bermain dengan barang sehari-hari. Tahu kenapa? Karena mereka bermain dengan alam pikiran mereka sendiri, yang direfleksikan sebagai mainan.
Pernah lihat, ada anak yang anteng bermain dengan sedotan? Atau ada anak perempuan, yang asyik bermain masak-masakan dengan mangkok, panci, sendok garpu?
Ya, anak bisa bermain dengan barang-barang yang ada. Mau bikin clay? Bisa kok. Tinggal tanya Om Google untuk mencari DIY bikin clay pake terigu dan lain-lain.
So, sebetulnya anak tidak perlu banyak mainan, apalagi yang fungsinya luar biasa. Makin tinggi dan sempurna fungsi mainan, maka daya imajinasi anak akan semakin terbatas. Dan, lingkup kegiatannya menyempit sehingga ia tidak bisa bermain secara variatif.
Inget emak-emak kece, sebaik apa pun sebuah mainan, is hanyalah sebuah media. Sifat sosial anak akan meningkat justru saat bermain dengan orangtuanya atau teman-temannya. Dan, daya imajinasinya malah akan bertambah saat tidak ada mainan.
Sifat sosial, daya kreativitas dan kekutaan fisik anak justru lebih meningkat terutama saat berlarian dengan teman-temannya di alam. Iya, bener juga sih. Tapi kalau lagi pandemi gini, pegimane? Jangankan pergi ke alam, sekolah aja diliburkan.
Kalau udah ada niat mah, pasti selalu ada jalan. Kan emak bisa tuh ajak anak olahraga bentar di karpet. Sit up kek, push up kek, plank kek. Terus, udah gini saya ditimpukin emak-emak seantero Facebook. Prinsipnya, yang dibutuhkan adalah kehadiran kita sebagai orangtuanya untuk bisa meluangkan waktu bersama anak. Percuma kan kita 24 jam bersama anak. Tapi kita malah Facebook-an tak kenal waktu? ((Eh kok saya berasa digaplok ya.)).
Kembali ke laptop, jadi kita bener-bener gak boleh beliin mainan nih? Yak gak lah. Kalau pun kita tidak bisa menghindar dari konsumerisme mainan, maka ketika akan membeli mainan, ada beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan.
Prinsipnya, belilah mainan ketika memang benar-benar dibutuhkan. Lalu, pilih mainan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Faktor-faktor lainnya yang wajib diperhatikan adalah apakah mainan ini memungkinkan interaksi? Bisakah mainan ini membuat anak berimajinasi? Apakah anak suka? Apakah mainan ini aman? Tidak adakah mainan yang mirip? Apakah mainan ini tidak mudah rusak?
Nah faktor-faktor tadi pun berlaku saat kita sudah mulai migren liat mainan yang berserakan di setiap sudut rumah. Mulailah kumpulkan semua mainan yang ada di suatu ruangan. Sortirlah dengan penuh cinta. Ajak anak ikut menyortir jika sudah bisa diajak bekerjasama. Yakin deh, ini bisa jadi quality time bareng anak. Mainan beres, rumah rapi. Anak pun akan senang dilibatkan dalam kegiatan emaknya. Sekaligus, ia akan belajar berbagi. Belajar berbagi? Iya. Mainan yang tak lagi is sukai, mainan yang tak lagi ia butuhkan ((padahal masih layak pakai)) bisa ia berikan kepada temannya atau saudaranya yang membutuhkan.
Demikian, catatan harian seorang emak, yang mulai insyaf membelikan mainan seperlunya saja.
🏡🏡🏡
Sumber: Buku Berbenah Jadi Duit dari Oppa Yoon Sun-hyun
#tantangan30hari
#tahapkepompong
#bundacekatan
#institutibuprofesional
Oleh: Rika Subana
Hellow emak-emak kece.
Pernah liat gak, ketika kita lagi jalan di emol, ada anak yang histeris minta dibelikan mainan kepada orang tuanya?
Saya pernah. Beberapa kali malah. Ada yang anaknya guling-guling (gak sambil koprol sih) di lantai. Ada yang teriak-teriak atau malah jerit-jerit dengan volume suara yang memekakkan telinga. Emm agak horor ya?
Alhamdulillah si bungsu gak pernah seperti itu. Paling banter cuma rengek-rengek manja aja. Mencoba peruntungan, siapa tahu emaknya bisa luluh.
Dulu sempet sih, beberapa kali kecolongan. Gak punya rencana beliin dia mainan, eh tahu-tahu di rumah baru sadar, kok malah beliin sih. Iya, kadang anak kecil itu bisa banget bikin emaknya khilaf.
Nah sejak saat itu, setiap mau jalan-jalan, saya selalu bikin kesepakatan dulu. Misalnya, kalau saya mau beliin dia mainan, maka saya akan sampaikan ke dia, "Kalau ada mainan bagus dan uangnya cukup, ibu bakal beliin 1 mainan. Tapi kalau gak ada, kamu gak boleh marah."
Nah, kalau kita memang gak berencana untuk beliin dia mainan, ya kasih tahu juga. Misalnya, kita bilang sama dia, "Kita mau jalan-jalan tapi Ibu gak akan beliin mainan. Mau ikut gak?"
Kalau dia mau ikut, kasih tahu konsekuensinya kalau dia ngeyel di emol. Misalnya, kita bilang, "Kalau kamu rewel atau ngeyel di sana, Ibu gak akan ngelayanin kamu. Kamu mau nangis, teriak silakan aja. Tapi Ibu tetep gak akan beliin."
Pernah, ketika saya bilang begitu, si bungsu nanya, "Emang Ibu gak malu kalau aku nangis atau teriak di sana?"
Saya jawab, "Enggak! Yang harusnya malu itu kamu, bukan Ibu. Kan kamu yang nangis atau teriak. Bukan Ibu."
Alhamdulillah, sejauh ini cara ini cukup ampuh membuat dia patuh dengan kesepakatan.
Jadi, seberapa penting mainan ini untuk anak? Wow hare gene kita disuguhi bermacam mainan dari segala penjuru mata angin. Dari harga ribuan sampai jutaan rupiah, mainan ini terpampang nyata. Dengan mudah, kita bisa melihatnya melalui marketplace cem Tokped, Shopee dan lain-lain.
Menurut Oppa Kwak No-eui ((beliau seorang profesor di bidang pendidikan)), sebetulnya anak tidak perlu dibelikan mainan! What? Seriously?
Bukankah mainan itu baik bagi anak-anak? Bukankah mainan itu bisa menstimulasi berbagai kemampuan pada anak? Bukankah ... mainan itu endebre-endebre? ((Pasti emak-emak punya 1001 alasan untuk membelikan mainan kan?)). And the list continues.
Tadinya saya juga mikirnya gitu sih. Bahwa anak itu butuh mainan. Bahwa mainan itu banyak manfaatnya. Tapi mari kita telaah bagaimana pemikiran sang oppa profesor ini.
Menurutnya, semakin menarik suatu mainan, anak-anak akan semakin lengket dengan mainannya, bukan orang yang bermain dengannya. Sampai sini, kemampuan sosial si anak malah tidak terasah. Padahal kemampuan sosial merupakan salah satu life skill yang penting untuk masa depannya.
Kalau anak semakin lengket dengan mainan, lama kelamaan, dia akan menjadi kecanduan mainan. Di otaknya, yang ada hanyalah mainan ... mainan ... mainan Woooh syeremnya. Ternyata mainan ini bisa menjadi candu bagi anak.
Peluang kecanduan ini semakin besar, terutama bagi anak yang kedua orangtuanya bekerja. Anak pun akan semakin mudah merengek minta mainan. Tahu kenapa? Karena yang dia pahami, mainan adalah bentuk cinta dan rasa sayang orangtua terhadap dirinya. Dia merasa, semakin banyak mainan yang dibelikan orangtuanya, semakin sayang orangtua kepadanya. Begitu pun orangtuanya. Mereka merasa, dengan membelikan mainan bisa menutupi rasa bersalah karena tidak bisa mendampingi sang anak sepanjang waktu. Ini berlaku juga bagi orangtua yang selalu ada 24 jam bersama anak. Tapi tidak punya waktu untuk bermain bersamanya ((eh kok berasa sedikit kesindir yak)).
Jadi, bagaimana anak bisa bermain tanpa mainan? Nah, lagi-lagi menurut oppa-oppa pakar pendidikan, anak-anak bisa banget lho asyik bermain dengan barang sehari-hari. Tahu kenapa? Karena mereka bermain dengan alam pikiran mereka sendiri, yang direfleksikan sebagai mainan.
Pernah lihat, ada anak yang anteng bermain dengan sedotan? Atau ada anak perempuan, yang asyik bermain masak-masakan dengan mangkok, panci, sendok garpu?
Ya, anak bisa bermain dengan barang-barang yang ada. Mau bikin clay? Bisa kok. Tinggal tanya Om Google untuk mencari DIY bikin clay pake terigu dan lain-lain.
So, sebetulnya anak tidak perlu banyak mainan, apalagi yang fungsinya luar biasa. Makin tinggi dan sempurna fungsi mainan, maka daya imajinasi anak akan semakin terbatas. Dan, lingkup kegiatannya menyempit sehingga ia tidak bisa bermain secara variatif.
Inget emak-emak kece, sebaik apa pun sebuah mainan, is hanyalah sebuah media. Sifat sosial anak akan meningkat justru saat bermain dengan orangtuanya atau teman-temannya. Dan, daya imajinasinya malah akan bertambah saat tidak ada mainan.
Sifat sosial, daya kreativitas dan kekutaan fisik anak justru lebih meningkat terutama saat berlarian dengan teman-temannya di alam. Iya, bener juga sih. Tapi kalau lagi pandemi gini, pegimane? Jangankan pergi ke alam, sekolah aja diliburkan.
Kalau udah ada niat mah, pasti selalu ada jalan. Kan emak bisa tuh ajak anak olahraga bentar di karpet. Sit up kek, push up kek, plank kek. Terus, udah gini saya ditimpukin emak-emak seantero Facebook. Prinsipnya, yang dibutuhkan adalah kehadiran kita sebagai orangtuanya untuk bisa meluangkan waktu bersama anak. Percuma kan kita 24 jam bersama anak. Tapi kita malah Facebook-an tak kenal waktu? ((Eh kok saya berasa digaplok ya.)).
Kembali ke laptop, jadi kita bener-bener gak boleh beliin mainan nih? Yak gak lah. Kalau pun kita tidak bisa menghindar dari konsumerisme mainan, maka ketika akan membeli mainan, ada beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan.
Prinsipnya, belilah mainan ketika memang benar-benar dibutuhkan. Lalu, pilih mainan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Faktor-faktor lainnya yang wajib diperhatikan adalah apakah mainan ini memungkinkan interaksi? Bisakah mainan ini membuat anak berimajinasi? Apakah anak suka? Apakah mainan ini aman? Tidak adakah mainan yang mirip? Apakah mainan ini tidak mudah rusak?
Nah faktor-faktor tadi pun berlaku saat kita sudah mulai migren liat mainan yang berserakan di setiap sudut rumah. Mulailah kumpulkan semua mainan yang ada di suatu ruangan. Sortirlah dengan penuh cinta. Ajak anak ikut menyortir jika sudah bisa diajak bekerjasama. Yakin deh, ini bisa jadi quality time bareng anak. Mainan beres, rumah rapi. Anak pun akan senang dilibatkan dalam kegiatan emaknya. Sekaligus, ia akan belajar berbagi. Belajar berbagi? Iya. Mainan yang tak lagi is sukai, mainan yang tak lagi ia butuhkan ((padahal masih layak pakai)) bisa ia berikan kepada temannya atau saudaranya yang membutuhkan.
Demikian, catatan harian seorang emak, yang mulai insyaf membelikan mainan seperlunya saja.
🏡🏡🏡
Sumber: Buku Berbenah Jadi Duit dari Oppa Yoon Sun-hyun
#tantangan30hari
#tahapkepompong
#bundacekatan
#institutibuprofesional
Komentar
Posting Komentar
Thanks for reading. Sharing is caring