Pencarian Rani





aku bagai buih di laut biru
tersapu ombak terhempas badai
aku bagai debu di padang pasir
terseret angin terbakar panas
tolonglah Tuhan beri petunjukMu
jalan yang benar menuju jalanMu
agar tak tersesat di persimpangan jalan
(Ahmad Band, Kuldesak)


Siang itu, Alya sudah tidak mempedulikan terik matahari. Dia terus berjalan, tujuannya hanya satu, memberi surprise untuk Rani. Seseorang yang sudah seperti kakak baginya sejak ia mengenalnya melalui puluhan surat yang selalu dia terima di sekolah. Dan Rani sakit, itu isi surat terakhir yang ia terima, yang telah mengantarkannya pada kota asing yang panas namun sejuk ini.  Di kota besar itu ia nekad menaiki bus antar kota dan naik angkot tanpa tahu dengan jelas kemana angkot itu akan membawanya. Turun dari angkot, ia berjalan sambil memegang alamat Rani, namun ia semakin tak yakin dengan tujuannya.

Di bawah terik matahari itu, ia menuju kotak bening raksasa, sebesar tubuh manusia. Di kotak raksasa itu ia menyerah, tak ada lagi surprise, karena ia buta dengan kota itu. Kota Bandung yang baru pertama kali ia jejaki. Iapun mengangkat gagang telepon itu dan memencet tombol angka dengan terburu-buru.

“Assalamualaikum teteh!”
“Wa’alaikumussalaam,” terdengar suara lemah di seberang sana.
“Teteh dimana? Alya sekarang ada di Bandung, tapi belum juga nemu alamat yang teteh tulis di surat!” ujar Alya

“Di Bandung?”tanya Rani tak percaya.
“Iya teh, Alya pengen ketemu teteh, teteh dimana sekarang?”

“Maaf de, teteh nggak bisa ketemu sekarang” Rani menjawab dengan lemah.
“Loh kenapa?” Alya terkejut mendengarnya. Hatinya remuk redam mendengar jawaban Rani.

“Teteh sakit de, sedang dalam perawatan dan tidak boleh bertemu siapa-siapa, hanya dokter dan perawat saja yang boleh ketemu teteh. Maaf.”

“tapi Alya pengen nengok teteh. Alya jauh-jauh dari Ciamis Cuma kepengen nengok teteh!”Airmatanya menetes mengakhiri kalimatnya tadi.

“Maafkan teteh de, teteh juga pengen ketemu tapi belum bisa sekarang. gini saja, nanti ada kawan teteh yang nemuin ade kesana, tunggu di masjid alun-alun kota biar gampang ketemunya. Namanya Dewi, dia pake jilbab ungu. Sudah dulu ya, Alya… Hati-hati di jalanya!” Tut.

Sambungan telepon itu diputus oleh Rani. Hati Alya semakin tak menentu. Perjalanan yang jauh ini seakan tak menemukan titik temu. Seseorang yang dirindui entah ada di mana.  Namun ia turuti saja pesan Rani di telpon. Ia menaiki bus dalam kota menuju Masjid Agung yang berada di tengah alun-alun kota.

Setibanya di Masjid Agung Bandung, Alya membasahi wajahnya dengan air wudhu, sebagian rambutnya pun ikut basah, kemudian ia bersujud pada Sang Maha Raja, yang menggenggam segala. Setelah usai memanjatkan doa panjangnya, iapun duduk diluar. Memperhatikan satu persatu  pejalan kaki. Berharap Dewi adalah salah satu dari mereka. Namun bagaimana ia bisa mengenali Dewi? Bagaimana Dewi bisa mengenalinya? mereka bertemu saja belum pernah. Dia berpikir, kalau saja punya handphone seperti teman-teman sekelasnya, mungkin perjalanannya tidak akan serumit ini. Huft! ia mulai tidak sabar dan berpikir untuk mencari wartel (warung telpon) lagi karena hanya itu yang dia andalkan sebagai alat komunikasi.

“Assalamualaikum, ini Alya ya?” beberapa saat kemudian tiba-tiba ada suara lembut yang mengagetkannya. Seorang yang pembawaannya sangat kalem itu.

“Wa’alaikumsalam, iya. Teh Dewi, ya?” tanyanya penuh haru. Di tengah keterasingan ini, akhirnya hadir juga orang yang mungkin akan membawanya pada Rani.

Dewi pun mengulurkan tangan, mereka bersalaman dan berkenalan. Hangat sekali. Dewi pamit untuk shalat dzuhur terlebih dahulu.

Alya duduk di selasar masjid, bersandar pada tembok yang dingin. Ini membuatnya sangat nyaman untuk sesaat melepas lelah setelah melalui perjalanan jauh. Hatinya sangat lega. Rasanya ia sudah sangat dekat dengan Rani sekarang. 
Dewi tampak berjalan ke arahnya.

“Ayo Alya jalan-jalan kemana?” tanya Dewi dengan antusias. Layaknya seorang guide berpengalaman yang mau mengantar turis keliling kota.

“Saya cuma pengen diantar ke rumah Teh Rani. Tolong antarkan saya, ya!” jawabnya dengan tegas.

“Tapi saat ini Rani nggak bisa ditemui, mungkin besok lusa. gimana kalau sekarang kita jalan-jalan dan nginep di rumah saya?” bujuk Dewi.
“Nggak mau! Saya kesini cuma buat ketemu Teh Rani. Bagaimanapun caranya saya mau ke rumahnya!” jawab Alya sambil berlalu dari masjid. Ia terus saja berjalan tak tentu arah. Dewi paham kekecewaan teman barunya itu. Namun apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada. Selain terus mengejarnya dan membujuknya.

“Alya! Ayolah jangan seperti ini. Rani pasti sedih kalau tahu kamu begini. Ada saatnya untuk bertemu dia, tapi tidak sekarang. Rani sedang dalam perawatan. Dia tidak di rumah. Tetehpun ngga tahu Rani dirawat di mana. Rani hanya berpesan agar teteh nemenin kamu.” Dewi tetap sabar membujuk sambil berlari mengejarnya. Namun Alya tak peduli. Ia terus saja berjalan dan mempercepat langkahnya seolah tahu akan kemana ia melangkah.

Dewi memang sangat sabar menghadapi anak yang baru menerima surat kelulusan SMA itu. Dia menghampiri Alya yang kini duduk di halte bis. Ia begitu keras kepala. Tidak bisa sebentar saja mendengarkan orang lain. Dewi merangkul Alya yang kini sudah duduk berurai air mata. Sulit sekali ia menerima kenyataan, bahwa Rani memang tidak bisa ditemui. Ia semakin bertanya-tanya tentang kondisi Rani. Ia lelah, ia putus asa. Tak ada yang ingin dia lakukan di kota itu selain bertemu Rani. Namun harapan itu seakan tertutup sudah. Seolah ia harus membuang keinginannya, walau jauh kaki berjalan, Rani tak akan ia temui jua. Tapi kenapa? Salahkah bila ia ingin menengok seseorang yang sakit? Tegakah Rani hingga tak ingin menemuinya sebentar saja. Pikirannya terus berkelebat dan ia menangis lagi.

“Sabar yaaaa! Meskipun Alya sangat ingin ketemu Rani, tapi takdirnya belum bisa ketemu!” Dewi berkata lembut.
Alya semakin terisak.

“Sekarang coba lihat ke langit sana! Di sana ada banyak bintang. Milyaran jumlahnya. Sangat banyak, tak terhingga malah. Meskipun sekarang ia tak terlihat, tapi percayalah kalau ia ada. Sama dengan saudara,  meskipun sekarang tak terlihat tapi ia selalu ada, dalam doanya.  Meskipun di dunia ini tidak bisa bertemu tapi yakinlah di syurga nanti insya Allah akan bertemu. Alya, saudara itu amat banyak, meskipun belum kau lihat sekarang. Jadi bersabarlah!”  Dewi mengakhiri kalimatnya dengan menepuk-nepuk pelan punggung kawan yang baru beberapa jam ini ia temui.

Alya semakin sesenggukan mendengar kalimat yang keluar dari Dewi itu. Ia terdiam. Tak mampu berkata apapun lagi. Ia pasrah sekarang dan mengikuti kemana Dewi melangkah.

***

Bola raksasa itu muncul di langit timur. Kamar yang Alya tempati semalam jadi terasa hangat. Alya membuka pintu kamar. Alya bergegas ke kamar mandi, membasuh wajahnya yang kusut juga matanya yang membengkak karena kemarin seharian menangis.

Alya menikmati sarapan yang di masak pagi-pagi sekali oleh ayahnya Dewi sebelum berangkat kerja.
“Alya rencananya mau kuliah dimana?tanya Dewi.

“Sebenarnya Alya pengen banget teh kuliah di Pendidikan Biologi UPI, tapi belum tahu juga orang tua bolehin nggak, karena papa dan mama pengennya saya kuliah di Ciamis aja”

 “Oh gitu. manusia hanya bisa berencana dan berikhtiar, tapi yang kuasa untuk menentukan yang terbaik buat kita hanya Allah. Teteh doakan semoga Allah memberikan pilihan terbaik buat Alya. Amiin”

“Amiin. Makasih teh”
“Sama-sama. Nah, termasuk keinginan untuk ketemu teh Rani kemarin pun kita hanya bisa berencana, tapi Allah yang berhak menentukan ketemu atau nggak, iya nggak?”
“Iya teh, tapi masih sedih”
“Wajar. Karena Alya sudah lama ya pengen ketemu teh Rani”
“Iya teh“

“Alya, Allah itu bukan hanya menciptakan manusia, alam semesta, langit dan bumi dengan segala isinya, namun Allah juga menciptakan rasa sedih, kecewa, pertemuan, tangisan, bahkan sekarang Alya jadinya ada di rumah teteh itupun ciptaan Allah”
“ko bisa teh?”

“Coba buka Q.S Al-baqarah: 117, Allah berfirman “Allah pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka cukuplah Dia hanya mengatakan kepadanya :”Jadilah!” lalu jadilah ia.”

“Subhanallah, iya teh ya, semua karena Allah menghendaki.”

“Iya, tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini, Allah sebagai sutradara terbaik telah membuat naskah perjalanan hidup kita, jadi semua yang terjadi adalah kebaikan untuk kita, walau awalnya berat untuk menerima. Sekarang mungkin belum bisa ketemu tapi Alya masih bisa mengirim surat lagi ke teh rani seperti biasanya. Jadi masih bisa berbagi cerita.”

“Iya. Makasih banyak ya teh. Doakan Alya teh semoga bisa lebih sabar.”

“Pasti teteh doakan. Kapan-kapan kalau ke Bandung lagi mampir ya ke rumah teteh, nanti kita jalan-jalan keliling Bandung.”
“Insya Allah teh, pasti seru. Alya pulang sekarang ya teh, khawatir mama khawatir karena belum pulang.”

“Ya udah teteh anterin ke terminal Cicaheum ya”
“Sip.”

Di Caheum Dewi memeluk Alya erat sebelum Bis membawanya jauh dari Bandung.

“Teh, Alya pengen pake jilbab kaya teteh”Alya tiba-tiba memberanikan diri ungkapin keinginannya untuk menutup aurat.

Dewi langsung melepas pelukannya dan matanya berbinar karena bahagia mendengar apa yang Alya barusan sampaikan. “Alhamdulillah.....teteh seneng banget, sok atuh teteh doakan semoga istiqomah ya.”

“Aamiin” kini mereka benar-benar berpisah. Alya sangat terkesan dengan pembawaan Dewi yang ramah, sabar, juga bersahabat. Di lain hari, ia ingin sekali kembali untuk bertemu dengan Dewi.
Di bis ke Ciamis, Alya terus meneteskan airmata. Perjalanan ini mungkin tak mempertemukannya dengan sosok Rani, namun ia bertemu banyak hal yang merubah pola pikirnya. Ia menyadari kalau ia masih saja kekanak-kanakan. Sebentar lagi ia akan menjadi mahasiwa, ia terus berdoa sepanjang jalan agar allah membimbingnya untuk menjadi muslimah yang lebih baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPS MENGATASI SAKIT SAAT MENSTRUASI DENGAN ENEMA KOPI

Fokus Kekuatan, Siasati Kekurangan!

Memaknai Keajaiban